Nafsu adalah kecondongan jiwa kepada perkara-perkara
yang selaras dengan kehendaknya. Kecondongan ini secara fitrah telah diciptakan
pada diri manusia demi kelangsungan hidup mereka. Sebab bila tidak ada selera
kepada makanan, minuman dan kebutuhan biologis niscaya mereka tidak akan
tergerak untuk makan, minum dan menikah.
Nafsu
mendorongnya kepada hal-hal yang dikehendakinya itu. Sebagaimana rasa emosional
mencegahnya dari hal-hal yang menyakitinya. Maka dari itu tidak boleh mencela
nafsu secara mutlak dan tidak boleh pula memujinya secara mutlak. Sebagaimana
halnya perasaan emosional tidak boleh dicela atau dipuji secara mutlak. Namun
karena kebiasaan orang yang mengikuti hawa nafsu, syahwat dan emosinya tidak
dapat berhenti sampai pada batas yang bermanfaat saja maka dari itulah hawa
nafsu, syahwat dan emosi dicela, karena besarnya mudharat yang
ditimbulkannya. Dan juga jarang sekali ditemui orang yang dapat berlaku adil
dan berhenti pada batas positif bila telah dikuasai oleh hawa nafsu, syahwat
dan emosi. Sebagaimana pula sangat jarang ditemui tabiat yang lurus dalam
segala kondisi. Salah satu dari unsur-unsur yang ada pasti mendominasi dirinya.
Jarang sekali seseorang dapat meluruskan potensi syahwat dan emosinya dalam
segala kondisi. Barangkali hanya segelintir orang saja yang bisa. Oleh sebab
itulah Allah ﷻ selalu mencela hawa nafsu dalam Kitab-Nya.
وَمَا أُبَرِّئُ نَفْسِي
إِنَّ النَّفْسَ لأمَّارَةٌ بِالسُّوءِ إِلا مَا رَحِمَ رَبِّي إِنَّ رَبِّي
غَفُورٌ رَحِيمٌ
“Dan Aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan),
Karena Sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu
yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha
penyanyang.” (Qs. Yusuf 53)
إِنْ يَتَّبِعُونَ إِلا
الظَّنَّ وَمَا تَهْوَى الأنْفُسُ وَلَقَدْ جَاءَهُمْ مِنْ رَبِّهِمُ الْهُدَى
Mereka tidak lain hanyalah mengikuti
sangkaan-sangkaan, dan apa yang diingini oleh hawa nafsu mereka dan
Sesungguhnya Telah datang petunjuk kepada mereka dari Tuhan mereka. (Qs.
An-Najm 23)
وَمَا لَكُمْ أَلَّا
تَأْكُلُوا مِمَّا ذُكِرَ اسْمُ اللَّهِ عَلَيْهِ وَقَدْ فَصَّلَ لَكُمْ مَا
حَرَّمَ عَلَيْكُمْ إِلَّا مَا اضْطُرِرْتُمْ إِلَيْهِ ۗ وَإِنَّ كَثِيرًا
لَيُضِلُّونَ بِأَهْوَائِهِمْ بِغَيْرِ عِلْمٍ ۗ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ
بِالْمُعْتَدِينَ
Mengapa kamu tidak mau memakan (binatang-binatang yang
halal) yang disebut nama Allah ketika menyembelihnya, padahal sesungguhnya
Allah telah menjelaskan kepada kamu apa yang diharamkan-Nya atasmu, kecuali apa
yang terpaksa kamu memakannya. Dan sesungguhnya kebanyakan (dari manusia) benar
benar hendak menyesatkan (orang lain) dengan hawa nafsu mereka tanpa
pengetahuan. Sesungguhnya Tuhanmu, Dialah yang lebih mengetahui orang-orang
yang melampaui batas. (QS Al-An'am : 119)
أَفَرَأَيْتَ مَنِ
اتَّخَذَ إِلَهَهُ هَوَاهُ وَأَضَلَّهُ اللَّهُ عَلَى عِلْمٍ وَخَتَمَ عَلَى
سَمْعِهِ وَقَلْبِهِ وَجَعَلَ عَلَى بَصَرِهِ غِشَاوَةً فَمَنْ يَهْدِيهِ مِنْ
بَعْدِ اللَّهِ أَفَلا تَذَكَّرُونَ
“Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan
hawa nafsunya sebagai Tuhannya dan Allah membiarkannya berdasarkan ilmu-Nya dan
Allah Telah mengunci mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutupan atas
penglihatannya? Maka siapakah yang akan memberinya petunjuk sesudah Allah
(membiarkannya sesat). Maka Mengapa kamu tidak mengambil pelajaran?” (QS.
Al-Jatsiah : 23)
أَرَأَيْتَ مَنِ اتَّخَذَ إِلَهَهُ هَوَاهُ أَفَأَنْتَ
تَكُونُ عَلَيْهِ وَكِيلا أَمْ تَحْسَبُ أَنَّ أَكْثَرَهُمْ يَسْمَعُونَ أَوْ
يَعْقِلُونَ إِنْ هُمْ إِلا كَالأنْعَامِ بَلْ هُمْ أَضَلُّ سَبِيلا
“Terangkanlah kepadaku tentang orang yang menjadikan
hawa nafsunya sebagai Tuhannya. Maka apakah kamu dapat menjadi pemelihara
atasnya?. Atau apakah kamu mengira bahwa kebanyakan mereka itu mendengar atau
memahami. mereka itu tidak lain, hanyalah seperti binatang ternak, bahkan
mereka lebih sesat jalannya (dari binatang ternak itu).” (Surat Al-Furqon
43-44)
Demikian pula dalam sunnah Nabi ﷺ, selalu dicela oleh rasul, selain beberapa
hal yang dikecualikan. Dalam hadits dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin Al-‘Ash radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata, Rasulullah ﷺ, bersabda,
لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يَكُوْنَ هَوَاهُ
تَبَعًا لِمَا جِئْتُ بِهِ
“Tidaklah beriman salah seorang di antara kalian sampai ia menundukkan hawa
nafsunya untuk tunduk pada ajaran yang aku bawa.”
(Diriwayatkan dalam kitab Al-Hujjah dengan sanad yang shahih menurut Imam Nawawi. Namun penshahihan hadits ini
tidak tepat menurut Ibnu Rajab).
Walau hadits di atas adalah hadits yang dha’if, namun maknanya benar. Makna
hadits tersebut menurut Ibnu Rajab Al-Hambali, kita dikatakan memiliki iman
yang sempurna yang sifatnya wajib ketika kita tunduk pada ajaran Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan mengikuti
perintahnya dan menjauhi larangannya serta mencintai perintah dan membenci
setiap larangan. Demikian dijelaskan oleh Ibnu Rajab dalam Jami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam, 2: 395.
Dahulu dikatakan : “Hawa nafsu itu selalu mengintai maka janganlah mudah mempercayainya”.
Asy-Sya’bi berkata : “disebut hawa nafsu karena selalu menghasung
pemiliknya. Jika dilepas akan menggiring kepada kelezatan dunia tanpa
memikirkan akibatnya. Hawa nafsu menghasungnya supaya mengejar tuntutan syahwat
dunia meskipun merupakan penyebab datangnya berbagai macam kepedihan di dunia
dan akhirat. Akibat di dunia tentu lebih dahulu dirasakan sebelum siksa di
akhirat. Hawa nafsu membuat pengikutnya buta. Hingga tidak dapat memperhatikan
hal tersebut. Rasa malu, agama dan akal sehat tentu menolak kelezatan yang
membuahkan kepedihan, kepuasan syahwat yang berbuntut penyesalan. Jika ingin
memperturutkan kehendak hawa nafsunya maka rasa malu, agama dan akal sehat
serempak berbicara dan mengatakan kepada dirinya: ‘Jangan lakukan itu’.
Ketaatan hanyalah milik orang-orang yang berhasil mengalahkan hawa nafsunya.
Tidakkah engkau lihat, anak kecil lebih suka memperturutkan apa yang
dikehendaki oleh nafsunya meski menjerumuskannya dalam bahaya?. Itu disebabkan
fungsi akalnya masih lemah. Orang yang tidak mengindahkan aturan agama pasti
lebih suka memperturutkan hawa nafsunya meski menjerumuskannya kedalam kebinasaan
di akhirat. Itu disebabkan karena lemahnya pengaruh agama pada dirinya. Orang
yang tidak punya rasa malu tentu lebih suka memperturutkan hawa nafsunya
meskipun kehormatannya ternodai atau hilang sama sekali. Itu disebabkan
lemahnya rasa malu dalam dirinya. Orang-orang seperti itu sangat jauh dari apa
yang dikatakan oleh Imam Asy-Syafi’i: “sekiranya meminum air putih itu
mengotori kehormatanku niscaya aku tidak akan meminumnya”.
Sehubungan manusia selalu diuji dengan hawa nafsu, tidak seperti hewan dan
setiap saat ia mengalami berbagai macam gejolak, maka ia harus memiliki dua
peredam, yaitu akal sehat dan agama. Ia diperintahkan agar mengangkat seluruh
gejolak hawa nafsu kepada agama dan akal sehat. Dan hendaknya ia selalu
mematuhi keputusan kedua peredamk itu. Ia harus selalu berlatih menolak
tuntutan hawa nafsu yang tersembunyi dan berbahaya. Ia harus berlatih
meninggalkan hal-hal yang buruk akibatnya. Jika anda bertanya : Bagaimanakah
solusinya agar ia dapat melepaskan diri dari hawa nafsu sedang ia sudah
terjerat didalamnya? Jawabnya dalah: Ia bisa terlepas dari jeratan hawa nafsu
dengan pertolongan Allah dan taufik-Nya melalui terapi (upaya) dari dalam diri
sendiri.
Semoga Allah ﷻ senantiasa mencurahkan Taufik-Nya untuk kita semua.
Amiin.
Sumber rujukan: Kitab Asbaabut Takhallush minal Hawaa karya Al-Imam
Al-Hafizh Syamsuddin Ibnu Qayyim Al-Jauziyah rahimahullah.
No comments:
Post a Comment